Sebenarnya aku tidak begitu yakin apakah syair ini benar-benar sampai
Kedepan rumahmu mengantarkan setangkai gerimis yang telah lama mendung
Dalam gelap hari di ujung kota kelelakianku.
Syairku ini adalah bisik-bisik yang lepas dari selakangan derita kesedihan
Yang biasa menusuk kelelakian kotaku. Dia adalah makhluk berlumuran racun.
Tidak layaknya Hanoman yang setengah kera separuh manusia, syairku adalah
Manusia dan siluman pada waktu yang sama, siluman manusia.
Kepalanya sangat besar namun kedua matanya berhimpitan, hidung dan mulutnya
Pun hapir menyatu, sungguh sangat sulit merinci setiap bagiannya sebab seakan-akan
Semuanya tidak sebanding dengan mukanya yang lebar.Hanya air deras yang mengalir
Dari dua titik di sekitar matanya lah yang nampak jelas terlihat.
Sebenarnya, bila kau perhatikan lebih seksama, mukanya terdiri dari tiga rupa yang
Di lukis saat gelap mulai terang-terangan meneteskan airmata. Rupa pertama adalah zaitun
Hijau yang masam seperti saat pertama kau mencicipinya empat tahun yang lalu. Kedua
Berupa butir-butir ashfur yang hancur yang di campuri tinta biru dan sedikit darah merah
Lalu ku percikan pada hati-hati kerbau, sebab aku ingin menghidupkan jejak kenangan
Yang pernah kita hapal.
Rupa yang terakhir adalah kertas berlipat pada halaman empatratus limapuluh tujuh
Saat syair ini ada di depan rumahmu mengantarkan setangkai gerimis yang telah lama mendung
Dalam gelap hari di ujung kota hati kelelakianku.
Bhumi A. Sing.
New Cairo, September 2010.
Wednesday
Syair Tiga Rupa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment