Sunday

Dimana Kyai Berpijak?


Sistem perpolitikan di indonesia yang demokratis memaksa semua warganya untuk berpartisipasi dalam pemilu, baik sebagai calon yang dipilih maupun sebagai konstituen, meski tak sedikit yang ada di tengah-tengah alias paderi. Mengamati perpolitikan (meski bukan pengamat perpolitikan ) di indonesia memang sangat menarik dengan jumlah penduduk yang besar serta menyebar di ribuan pulau, indonesia mempunyai ciri khas yang berbeda lain dari pada yang lain, sampai-sampai demokrasi indonesia di pandang sebagai kambing hitam peta kekuatan percaturan dunia yang oleh para ahli di targetkan tahun 2030 manusia indonesia akan menjelma menjadi bangsa yang besar dan terhormat. Harapan saya juga demikian.
Semua orang bebas berkreasi dan berkarya, bebas mengemukakan pendapat sakarang, tak lagi main kucing-kucingan dengan pemerintah karena semua manusia indonesia telah berubah dan berani bikin perubahan. Dan hal ini yang juga merubah jumlah partai politik yang sejak zamannya mbah harto hanya tiga parpol menjadi puluhan parpol. Dan yang paling menarik di perhatikan adalah partai yang bergenre islam dan memasukkan kyai sebagi dalang pengumpulan konstituen. Kyai yang berkharisma menarik massa memang sangat menjanjikan apalagi bagi golongan yang menganggap kyai adalah panutan segalanya tidak perduli kyai itu salah atau tidak. demikian pula dalam memilih partai mereka bertanya pada kyai meski sang kyai tidak tahu perpolitikan sama sekali dan hanya mengikuti kyai yang lebih besar tingkatannya. Kekuatan PPP yang menjadi ciri khas kekuatan islam di zaman soeharto seakan lumpuh kala muncul partai berbasis islam semisal PKB yang paling besar serta mewakili kalanga nahdiyyin dan PAN yang juga memfasilitasi kalangan ormas muhammadiyah. Bahkan PKB berhasil duduk di nomer empat dan menuntun ketuanya menjadi presiden ke empat Indonesia KH. Abdurrahman Wahid. Kekuatan PKB yang besar belum habis di tahun 2004 meski sudah ngos-ngosan di tambah gagalnya sang kyai menjadi calon presiden semakin menenggelamkan pamor PKB yang didirikan oleh para kyai (muassis), setelah 2004 berakhir konflik demi konflik mengglayut ditubuh PKB sampai-sampai para Kyai membangun Rumah lagi di pemilihan tahun 2009 karena PKB sudah tidak lagi membawa amanah para Kyai, lalu berdirilah Rumah baru berwujud PKNU (partai kebangkitan Nasional Ulama) mungkin biar lebih berjiwa nasionalisme karena kita sudah berhasil menjadi “bangsa” dan kurang dari segi Nasionalisme atau karena dengan “bangsa” sudah tidak lagi menggigit, dan partai inilah sekarang yang mengemborkan dirinya sebagai Partainya Kyai satu-satunya.
Menarik bukan? Apakah kita tidak bertanya? Apa tujuan para kyai sebenarnya? Mengapa meninggalkan Rumah yang diusungnya bersama-sama dalam keadaan rusak dan tidak mau membenahinya lagi? Apakah dengan membangun rumah lagi perkara akan selesai dan image kyai akan kembali terang? Atu malah sebaliknya Kyai akan di tinggalkan?. Apalagi denagn menyebarnya isu yang tidak mengenakkan pesantren yang merupakan rumah besar seorang kyai. Bukankah kyai besar adalah kyai yang santrinya banyak lantas bagaimana mereka mendidik para santri sedangkan mereka asyik bergumbul dengan para politikus?
Lantas apakah kyai tidak boleh ikut atau masuk parpol? Tentu saja tidak karena bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia semua oarang bebas berkreasi dan bertidak sesuai dengan kehendak masing-masing asal tidak melanggar hak orang lain. Begitu pula kyai, sah-sah saja bagi mereka cuam masalahnya apakah mereka mampu? Kalaupun bisa berpolitik mereka paling hanya 20% karena mereka selalu mendalami ilmu agama apalagi di indonesia orientasi belajar agama hanya pada syariat.
Apa yang terjadi pada kyai dewasa ini yang mencantumkan nama mereka menjadi muassis (pendiri) PKNU dengan sendirinya sang Kyai telah keluar dari kriteria seorang kyai yang menjadi patokan masyarakat karena merka tak ubahnya sebagi spion di kendaraan hanya melihat pada satu arah saja, padahal seharusnya sang kyai menjadi penentu atau penunjuk arah yang benar dan menjadi lebih singkat. Kalu mereka masuk dalam diri PKNU maka kyai yang tersebut sebagai muassis mau tidak mau harus mendukung calon yang ditunjuk oleh PKNU. Berbeda jika sang Kyai tidak masuk kedalam tubuh parpol (tidak menjadi apapun) mereka akan berhasil menjadi penunjuk arah bagi semua masyarakat indonesia khususnya umat islam tidak hanya menjadi spion yang hanya melihat atau mengawasi arah belakang saja.
Dan seorang Kyai tidak menjadi salah satu warna dalam pelangi tetapi menjadi cahaya bagi semua warna yang ada. Mana waran yang indah itulah yang akan didominankan oleh cahaya. Jadi sang Kyai tidak melebur pada salah-satu partai tetapi Kyai menjadi penuntun arah untuk mimilih partai mana yang lebih mengarah pada jiwa nasionalisme dan Indoensia yang merdeka akan memerdekakan manusianya.

0 comments:

 
template by bhumiasing.blogspot.com