Betapa imajinasi kita terperangah saat menyebut nama Soekarno, presiden yang mengangkat martabat bangsa Indonesia hingga diakui kekuasaannya oleh dunia, meski negara masih miskin –bahkan sampai sekarang- setidaknya di tampuk kepemimpinannya kita masih memunyai harga diri. Saya yakin tetua kita yang menyaksikan proklamasi, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada, akan dengan bangga mengatakan saya orang indonesia. Sangat bertolak belakang dengan situasi saat ini, bukan?.
Betapa banyak saudara kita diperlakukan secara tidak manusiawi di luar negeri karena statusnya sebagai pembantu rumah tangga, mereka merendahkan diri demi keluarga yang ada di indonesia karena sulit mendapatkan pekerjaan yang mencukupi di negeri yang katanya paling kaya sendiri. Para mahasiswa yang demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas rela pontang-panting kesana-kemari demi mengurusi beasiswa, yang secara tidak langsung mereka mengemis ke negara orang lain karena negara sendiri tak jelas ada dimana?.
Harapan sosok pemimpin seperti soekarno-pun muncul kepermukaan, sosok yang berwibawa, tegas, dan mempunyai jiwa pemimpin sejati. keinginan masyarakat supaya mendapatkan hargadirinya kembali tidak bisa terelakkan. Tapi apa benar kita butuh pemimpin seperti soekarno?.
Untuk menjadi bangsa yang besar tidak hanya diperlukan sosok pemimpin yang tegas tetapi juga harus dikelilingi oleh pembantu yang berkompeten dan siap melayani dan menyokong pemimpin dengan segenap pikiran dan pekerjaan. Bung Hatta dan Sutan Sjahrir merupakan kaki tangan Soekarno yang paling menonjol bahkan tak jarang orang berkata jika tidak ada keduannya Soekarno bukanlah apa-apa. Bung Hatta, wakil presiden pertama yang juga seorang ahli ekonomi berhasil memulihkan ekonomi bangsa yang ditinggalkan penjajah, beliau merumuskan konsepsi ekonomi yang berasaskan dari rakyat untuk rakyat atau yang lebih dikenal dengan koperasi. Dan saat ini perkoperasian di Indonesia kurang bersemangat dan sistem ekonomi kita sekarang kurang berpihak pada rakyat kecil, yang kaya tambah kaya yang miskin semakin tertindas dan tersingkirkan.
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Beliau juga yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Orang kedua yang sangat berpengaruh adalah sjahrir, perdana mentri, seorang diploma sejati. sejak 1930-an Sjahrir menyatakan sikap antifasis, antitotaliter, dan antifeodal. Ia prihatin melihat sebagian pemimpin kaum koperator awal 1940-an sangat pro-Jepang. Padahal sebenarnya Jepang lebih kejam daripada Belanda sebagai penjajah. Sjahrir memutuskan untuk aktif menegakkan RI yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Ia pasang badan jadi tameng bagi Soekarno dalam melawan Nica-Belanda.
Beliau memperlihatkan keterampilan politik, integritas dan ketajaman analisa dengan langkah-langkahnya menghentikan kabinet presidensial Soekarno, lalu membentuk kabinet parlementer yang bertanggung jawab pada KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dengan dirinya sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Dalam Mengeri, pada 14 November 1945.
Sjahrir menjabat sebagai PM pertama RI, tidak sampai dua tahun, dari November 1945 sampai Juni 1947. Akan tetapi dengan politiknya terhadap Belanda yang jalan bareng yakni perundingan diplomasi dan perjuangan bersenjata, dengan perlindungan yang diberikan Soekarno-Hatta kepada Kabinet Sjahrir terhadap oposisi Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan yang menuntut 100 persen merdeka, Sjahrir berhasil mewujudkan Persetujuan Linggarjati dengan Belanda 15 November 1946.
Bahkan, Sjahrirlah yang mengawali perumusan gagasan politik luar negeri bebas aktif dalam pidatonya di Asia Relation Conference di New Delhi, Maret 1947. Yang oleh Soekarno dikonsolidasikan sebagai politik non-alignment, non-blok, sesudah Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Tidak hanya sejarah kedaulatan RI saja. Majapahit yang kekuasaannya sangat luas juga bukan berkat seoarang raja yang hebat saja, tatapi mereka memiliki gajah mada yang mengabdikan dirinnya untuk negara. Lalu apakah kita masih membutuhkan pemimpin seperti soekarno?.
Kesalahan negeri ini adalah semua orang ingin menjadi pemimpin tidak ada yang ingin menjadi kaki tangan pemimpin, semua orang ingin menjadi nomor satu bukan nomor dua. Tidak ada yang mengabdikan dirinya layaknya gajah mada, bung Hatta, dan Sjahrir.