Dia -lelaki tua dan bongkok- memasuki
ruangan tuhan denagn jalabiah kumal bau kandang.
menghibur dinding melalui asma ilahi
yang memantul dari pori-pori. tegak dibarisan
depan berlagak prajurit kekar tampan. diluar
dingin menusuk dahan kurma yang hampir jatuh dan angin
kencang menambah ia rapuh
Dia -masih lelaki tua ranta- bersiul mesra
menyapa kekasihnya, berpesta atas izzat kehidupan
setelah jahad panjang penuh persimpangan.
november 2008
Thursday
Izzat
Labels: poetry
Cerita Buku
buku berbaris di dinding
ada yang tertumpuk dilantai dingin.
dikolong tidur kertas berakar
tersiram tinta yang terbuang
menunggu matahari ingin menjalar
esok kala matahari bangkit
kamarku jadi belukar, semua kan terjebak, terjengkal dijegal huruf.
dari jendela burung mengomel
memarahi setiap buku yang terbuka lalu dicengkramnya
kuat dan ditelannya bulat
semusim berlalu buku masih berbaris di dinding
dan tertumpuk dilantai dingin
tak terjamah sampai otak mengering.
Labels: poetry
Keahlianku
Demi Allah aku tak memcipta gunung
batu debu bukan aku kumpul
aku tak bisa cengkramkan gunung
pada bumi, lalu tetumbuhan tegak berdiri
seperti besi tertarik matahari
Demi Allah rumah laba-laba tlah hancur
hanya karena seutas rambutku membentur
cairo, oktober 2008
Labels: poetry
Ku mohon
Wahai rosul allah
Catatlah dalam buku harianmu, namaku
Sebagai ummat engkau nabiku
Aku ingin bersua engkau
Aku akan hampiri engkau
Dengan sayap cinta, ijinkanlah…..
Aku hanya ingin meneteskan sebutir
Dua butir jernihan ditubuhku
Agar aku bisa sepenuh hati bersamamu
Rasul
Ku ingin dengan sangat kau akui sebagi umatmu
Aku berharap meski hatiku enggan merayap
Tariklah hatiku rasul
Dengan tali syariat
Saat malam berhias dan siang merayap dengan izin tuhan
2008
Labels: poetry
Paling Juga Mati
I: Ah lagi-lagi kau berseru!
Mengapa padaku engku mengadu?
Bukankah masamu beribu-ribu?
Penasehat yang kau angkat juga bermutu.
II: Ada apa lagi?
BBM meninggi…
Sembako melijit lagi
Itu kan hasil revolusi
Semua berasaskan demokrasi
Jika merasa dibohongi
Unjuk rasalah hati
Jangan lupa hati-hati
Sekarang zaman orang makan hati
Kelaparan perut tak terisi
III: kita semua harus tenang
Semua keputusan diambil dengan pertimbangan
BBM naik demi stabilitas ekonomi
Karena tak ada lagi jalan tak berduri
Kita harus yakin bersama kita bisa.
IV: ????
!!!!!
????
!!!!!
Bertanya
Berseru
mengadu
menangis
terdiam
lapar
mati.
September 2008
Labels: poetry
Wednesday
Tigapuluhsatu oktober
I
Tigapuluhsatu oktober berlalu
Perjalanan semakin jauh
Desa, kota, pegunungan, lautan dan sahara.
Melawati terjal berbatu
Kami tinggalkan negri pulau seribu.
Ya..!, sudah lama, purnama sudah bosan
Pasir gersang tak mau melirik
Kurma tak lagi menarik.
Cleaopatra sudah tak cantik
Kami merantau
Memulung sampah turats
Tengadah tangan mengemis
Di persimpangan blok azhar.
Memelas berkah.
Dinegeriku kami adalah meteor
Mecusuar yang tak kan mati meski ombak setinggi kapal
Sudah lama kami tahu itu
Kami juga tahu mereka menunggu
Mereka menanti kebanggaan
Empat, lima, enam, tujuh bahkan sampai duapuluh tahun.
Padahal yang kami bawa Cuma sampah
Sampah
Hasil memulung di blok azhar
Kami ragu
Apa bisa kami mendaur ulang
Menjadi sesuatu yang baru
Setidaknya bagi para penunggu
Jurukunci kuburan bangsaku
II
Oh ya, kami belum cerita
Negeri kami itu negeri kuburan
Hanya ada nisan serta ilalang
Penghuninya adalah mayat
Kalau tidak dimandikan tak mau mandi
Ogah berbuat sendiri
Alias tidak mandiri
Tak lagi berdikari seperti jaman soekarno mengabdi.
Tapi, setidaknya kami punya masa lalu
Ketabahan, kekuatan dan kebersamaan
Hingga runtuhkan kekuasaan jepang
Siapa di dunia tak kenal bung karno?
Siapa macamnya tak tahu budi utomo?
adakah yang meragukan ibu kami kartini?
Mereka juga mayat
Bedanya otak mereka belum mati
Otot mereka masih kuat
Dan nurani mereka hanya untuk negeri
III
Sudah dua tahun kami disini
Bahasa kami sudah banyak berubah
Akhi pa kabar?
Minnen ya ustadz?
Pakaian kami juga berubah
Sudah mirip orang arab
Mirip! Memang mirip
Ini, hari jadi kami yang kedua
Seumpama bayi kami baru bisa bicara
Sedang lucu-lucunya
Kalo berjalan masih sering terjatuh
Masih sering mewek
Masih haus disamping mama
Seumpama bayi juga
Kami tak lagi minum asi
Sudah waktunya liman arada an yutimma radoah
Labels: poetry